Senin, 29 November 2010

Menanti 'Kemerdekaan' di Hulu Sungai Ketapang

By. Sabinus Andi D.
(Wakil Sekjen PMKRI Santo Thomas More, Mahasiswa STIEP asal Ketapang)

Kabupaten Ketapang merupakan kabupaten yang terletak di bagian selatan Provinsi Kalimantan Barat dengan luas wilayah 35.809 km persegi atau kurang lebih 3.580.900 Ha. Terdiri dari 21 kecamatan.yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Salah satu kecamatan tersebut adalah kecamatan Hulu Sungai yang merupakan daerah pemekaran dari kecamatan Sandai sejak tahun 2004 silam. Kecamatan ini terletak di wilayah Hulu Sungai Pawan, tepatnya di sepanjang Sungai Krio dan Sungai Bihak. 

Dari dulu hingga sekarang, yang menjadi masalah yang senantiasa dikeluhkan masyarakat di sepanjang sungai Bihak adalah kurangnya akses informasi. Hal ini dikarenakan hingga saat ini belum adanya sentuhan pembangunan sarana infrastruktur berupa akses jalan oleh pemerintah daerah setempat. Selain itu, sarana infrastruktur pembangunan listrik (PLN) juga masih belum dapat dinikmati masyarakat disana. Melihat potensi yang dimiliki, seharusnya daerah sepanjang Sungai Bihak yang melimpah ruah kekayaan sumber daya alamnya ini jika dikelola dengan baik, tentu akan memberi nilai lebih berupa penghasilan yang memadai bagi masyarakat setempat untuk meningkat kesejahteraannya karena didukung oleh potensi yang memiliki nilai ekonomi tinggi yang dapat memberi manfaat lebih bagi masyarakat yang berdomisili di daerah tersebut dan sekitarnya. Tetapi, saat ini apa dan bagaimana kondisi yang dirasakan masyarakat?

Warga di sana mengeluh karena biaya angkut hasil buminya yang sangat mahal dibanding dengan harga penjualan hasil SDA yang dibawa ke pasar. Hal ini diakibatkan karena infrastruktur jalan darat belum ada dan hanya melewati jalur sungai yang rutenya banyak riam dan batu yang berkelok-kelok di sepanjang sungai Bihak. Seperti diketahui perjalanan menuju daerah disana sangat bergantung pada konsidi alam. Di musim penghujan transportasi lancar, tetapi kalau kemarau masyarakat setempat akan kesulitan berpergian ke ibukota kecamatan untuk berbelanja  kebutuhan mereka sehari-hari. Sulitnya kondisi yang dihadapi warga karena persoalan infrastruktur yang tidak memadai ini membutuhkan perhatian berupa intervensi pemerintah melalui program pembangunan yang memadai.

Sebagai pemuda asal daerah Sungai Bihak, saya berharap pemerintah Ketapang dapat memprioritaskan pembangunan di daerah kami. Warga tentunya menunggu peran pemerintah kabupaten Ketapang melalui kepala daerah yang baru terpilih dalam perhelatan pilkada beberapa waktu lalu beserta instansi terkait. Hal ini saya pandang penting untuk melakukan pemerataan pembangunan di daerah pedalaman, karena selama ini yang terjadi pembangunan hanya bisa dirasakan olah masyarakat di sekitar perkotaan saja. Sementara, bagi masyarakat pedalaman khususnya di Sungai Bihak belum pernah dijamah oleh tangan pemerintah melalui pembangunan.

Belum adanya sentuhan pembangunan di daerah Sungai Bihak merupakan potret masih suramnya kondisi masyarakat disana. Kaya sumber daya alam namun miskin sarana infrsatruktur. Meskipun negara Indonesia merdeka sudah lebih dari setengah abad silam (65 tahun), tetapi bagi masyarakat pedalaman khususnya masyarakat Sungai Bihak hingga saat ini belum merasakan kemerdekaan itu. Kondisi kehidupan di pedalaman seperti zaman penjajahan saja. Problem lain sebagai dampak dari belum dibangunnya sarana infrastruktur yang memadai ; masih minimnya akses mengenyam pendidikan bagi generasi di kampung, sulitnya masyarakat di kampung memperoleh fasilitas kesehatan dan juga sulit nya masyarakat setempat memperoleh “kesejahteraan”. Karenanya, perlu perhatian dari pemerintah.

Melalui tulisan ini, semoga pemerintah daerah terkait dapat membuka telinga untuk mendengar keluh kesah masyarakat di pedalaman dan membuka mata untuk melihat kondisi yang ada di daerah terpencil serta melakukan respon real melalui kebijakan pembangunan bagi masyarakat pedalaman.

Terbit dalam edisi cetak Pontianak Post tanggal 29 Nov 2010 dan edisi online bisa dilihat di sini : http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=43588

Masih berniat hancurkan hutan?

Lidya NS
By. Lidya NS*
(Ketua PMKRI Santo Thomas More Pontianak)

Apa yang menjadi judul dari naskah ini merupakan cerminan dari sebuah kegelisahan penulis atas gambaran kondisi sumber daya alam (hutan) yang kian merana, perlahan hilang dan terkuras karena ulah manusia yang cenderung eksploitatif. Praktek seperti ini misalnya terlihat dengan maraknya upaya perambahan hutan baik melalui aktifitas illegal logging maupun melalui praktek ”leggal logging” yang hadir melalui kebijakan investasi pembukaan kawasan hutan untuk berbegai kepentingan yang mengejar keuntungan bisnis semata seperti halnya untuk pembukaan perkebunan skala besar.

Akibat yang terjadi kemudian dimana kondisi bumi kian ”keropos” dan perubahan cuaca yang semakin tak menentu akhir-akhir ini. Kondisi dilematis ini begitu terasa dan kentara dengan situasi yang kasat mata bila dilihat sendiri disaat suatu kawasan yang dulunya berdiri tegakan pohon yang rimbun berubah menjadi kawasan yang berbeda dari sebelumnya megalami degradasi dan bahkan terjadi deforestasi. Kondisi ini juga kemudian memberi dampak pada keberadaan makhluk hidup penghuni planet bumi yang berharap adanya kontribusi hutan yang lestari terhadap kehidupan.

Bila dimasa silam perubahan situasi berkenaan dengan cuaca dan iklim yang terjadi masih bisa diprediksi dan diketahui melalui tanda-tanda alam maupun melalui kalender yang berlangsung seperti biasa dalam setiap tahunnya, maka kondisi saat ini tidak lagi demikian. Hal ini telah menjadi fenomena global yang pada akhirnya tidak gampang diprediksi. Bila diminta memilih dengan menjalani kondisi dimasa sekarang mengingatkan kita pada situasi masa silam. Akan banyak diantara kita yang berharap “aku ingin kondisi seperti dulu lagi” atau mencari suasana yang indah , sejuk dan aman serta damai. Situasi dimana kehidupan masyarakat begitu dekat dengan alam menjadi impian. Kesadaran masyarakat terhadap kehidupan alam yang masih sangat ”original” saat itu berimbas pada menguatnya budaya dan adat istiadat di masyarakat.

Berbalik dengan kondisi lingkungan sekarang, dampak dari perubahan kondisi alam bisa dirasakan langsung. Perubahan cuaca seperti curah hujan tidak menentu, kadang terasa panas dan seketika gampang berubah mendung. Gejala ini tidak sampai disitu. Bencana alam akhir-akhir ini terjadi dimana-mana. Bencana longsor, banjir besar, tercemarnya sungai dan sejumlah fenomena lainnya adalah sebuah realita bahwa alam kita mengalami persoalan. Semakin jelas bumi tidak lagi ”bersahabat” dengan makhluk hidup yang bermukim di dalamnya. Fakta lainnya juga kemudian berimbas pada segala aspek kehidupan yang memberi peluang lahirnya multi krisis bagi warga bila tidak segera diantisipasi secara dini karena kita telah menyaksikan bagaimana akhirnya petani bisa mengalami gagal panen, para nelayan tak memperoleh hasil tangkapan seperti biasa lagi, arus ekonomi lumpuh karena banjir dan bencana lainnya.

Era modernisasi yang berlangsung cepat seringkali membuat kita terlena, sementara perkembangan ilmu pengetahuan yang seharusnya mempermudah kita untuk dapat menemukan solusi menghadapi berbagai kemungkinan persoalan serigkali justeru disalahgunakan untuk kepentingan yang kurang produktif. Orientasi kebutuhan ekonomi seringkali membuat kita lupa untuk menggunakan akal sehat dan pengetahuan yang dimiliki secara lebih baik untuk kemaslahatan bersama. Apa yang sedang terjadi membuat kita harusnya tidak bisa tutup mata.

Berbagai slogan-slogan dalam sejumlah aksi seringkali didengungkan untuk mengingatkan kita agar peduli serta peka terhadap kondisi lingkungan yang lestari; ”Mari menjaga lingkungan bersih dan aman, selamatkan hutan dari eksploitasi hutan skala besar, gunakan kekayaan alam sebaik-baiknya, mari hentikan pamanasan global dan lain-lain”. Menguatnya harapan agar semua pihak peduli lingkungannya menjadi suatu yang wajar disaat kondisi bumi yang kita tinggali saat ini mulai rusak yang ditandai dengan gejala mulai hancurnya sumber daya hutan dengan fenomena alam yang cenderung ekstrim kini.

Keindahan alam, sungai yang jernih dengan berbatuan, ikan sungai sumber lauk yang lezat, binatang darat yang jinak, lucu, buas dan nakal, serta burung-burung yang selalu berkicau indah, juga sayuran alami dari hasil pertanian di dalam hutan dan kondisi rawa yang menyimpan keistimewaannya tersendiri. Kesemuanya merupakan gambaran dari betapa indahnya alam ciptaan-Nya. Namun demikian, akankah menjadi kenangan yang terindah dan tak akan pernah lagi disaksikan generasi mendatang untuk selamanya?

Begitu tega dan serakahnya para pendahulu kami! Kakek-Nenek kami! Kalimat ini yang mungkin akan ”dinyanyikan” oleh generasi mendatang sebagai bentuk ”protes” atas nasib yang kemudian mereka alami dengan kondisi hutan-tanah-air yang tidak seoriginal aslinya lagi karena dibabat. Karenanya, produk kebijakan pembangunan atas kesejahteraan harusnya benar-benar menyentuh aspek kepentingan bersama yang tidak semata pada prioritas kebutuhan ekonomi semata. Aspek persoalan terkait dengan lingkungan lestari, sosial dan budaya mesti mendapat tempat. Akses dan kontrol rakyat atas lingkungannya harus terus didorong dan ciptakan. Kebijakan yang cenderung ”mengebiri” dan mengabaikan hak-hak rakyat atas lingkungannya harus dihapuskan. Kita tentu tidak ingin lagi terjadi konflik karena pengelolaan sumber daya alam yang buruk. Kita tentu tidak ingin lagi bencana melanda negeri ini terus menerus. Kita tentu tidak ingin lagi ada pembatasan akses warga atas potensi alamnya. Kita juga tentu tidak ingin kaum perempuan kian mengalami persoalan karena pengurasan SDA yang terus menerus tanpa kendali. Kriminalisasi yang berujung pada kurungan penjara yang dialami masyarakat (adat) atas keinginan untuk terjaganya hutan-tanah-air dan pelanggaran HAM warga di negeri ini jangan lagi terjadi!
Pada akhirnya, kebijakan pemerintah yang pro rakyat dan pro terhadap keberlanjutan ekologi menjadi harapan, menjadi penantian bersama yang terus akan digelorakan.

Pemerintah yang memiliki komitmen perjuangan bersama rakyat sudah saatnya tidak ”menghamba” dan tidak tunduk pada pemodal. Komitmen penyelamatan bumi dan untuk masa depan bumi membutuhkan keterlibatan seluruh warga penghuni bumi. Kebijakan pembukaan kawasan skala besar melalui pembukaan lahan bagi perkebunan dan eksploitasi yang membutuhkan hutan rimba dan kemudian cenderung merusak hendakanya tidak dipaksakan dan tidak diteruskan lagi. Bila masih ada niat baik untuk mewariskan bumi yang indah bagi generasi mendatang, maka tentu kebijakan yang eksploitatif dan bombastis terhadap sumber daya alam tidak perlu dipaksakan. Dan atau masih adakah niat untuk terus menghancurkan hutan sehingga generasi mendatang tidak lagi sempat menikmatinya ?.
Naskah ini pernah diterbitkan dalam Pontianak Post edisi cetak pada November 2010

Sabtu, 20 November 2010

Gunung Seha’ akan tinggal Cerita?

By. Evifania Triastuti,
(Mahasiswi UPI Bandung, asal Kabupaten Landak)

Gunung Seha’ begitulah nama kawasan yang terletak di Dusun Asong, Desa Aur Sampuk, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. Letak daerah ini tepatnya berada di medan yang seringkali dilintasi bila melakukan perjalanan dari Kota Pontianak menuju ke sejumlah kabupaten di bagian Timur Kalbar. Berada di antara Senakin dan Pahauman. Merupakan tempat transit dan tempat persinggahan bagi mereka yang mengendarai bus, truk atau mobil pribadi untuk melepas lelah dan bersantai sejenak setelah menempuh perjalanan dari kota Pontianak dan atau dari Sanggau dan juga Ngabang. Juga biasanya tempat ini digunakan untuk membeli sayuran hasil hutan dan hasil pertanian (ladang) para peladang. Di  musim buah, “pasar tradisional” ini disaat saat tertentu biasanya menyuguhkan aneka ragam jenisnya seperti, jenis asam, peluntan, mentawa, durian dan maish banyak lagi. Tetapi, sayang akhir-akhir ini pohon durian di beberapa daerak di Kabupaten Landak banyak yang ditebangi. Lantas, apa yang bisa di lihat di Seha’ kini?

Banyak. Di Seha’ terdapat warung-warung yang menjual hasil hutan khas warga disekitarnya (umumnya Dayak). Dan bila kita sedikit menanjak keatas di salah satu tikungan tidak jauh dari “pasar hutan” itu, kita bisa melihat pemandangan Sunset (terbenamnya Matahari) yang eksotis di sore hari. Karena Seha’ adalah daerah pegunungan yang masih ditumbuhi pepohonan, jadi udaranya pun terasa segar. Dingin seperti di Puncak (Bogor), tapi tidak sedingin disana. Setiap sore biasanya sekelompok anak muda berkumpul disana. Juga para orang tua. Dari situ kita bisa melihat sawah yang terhampar luas dan jika jeli melihatnya akan tampak desa Senakin dari kejauhan.

Tetapi mungkinkah semua keindahan alami Gunung Seha’ itu hanya akan menjadi cerita dongeng belaka nantinya? Selain sawah dan pemandangan sunset yang tampak eksotis dengan kondisinya yang alami, di beberapa ruang khususnya dibagian puncak terlihat pohon-pohonnya telah ditebangi dan disulap menjadi perkebunan sawit di salah satu bukitnya. Kita tahu sendiri, apa pengaruh sawit terhadap tanah yang di tumbuhinya. Jika seluruh bukit di Seha’ digunduli, sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi setelah sekian tahun ke depan.

Beberapa tahun yang lalu, saya dan teman-teman sering mengunjungi Seha’ setiap sore. Seha’ saat itu masih sangat jarang di kunjungi orang-orang, kecuali pengendara mobil truk dan bus yang singgah untuk beristirahat. Pohon-pohon rindang pun masih menghiasi setiap tikungan yang terdapat di sana waktu itu. Tetapi sekarang, “wajah” Seha’ sudah mulai berubah. Pernah dikabarkan telah terjadi longsor di Seha’ akibat dari penggalian sebuah goa oleh penduduk setempat yang menurut isunya, tempat tersebut peninggalan Belanda dan terdapat benda-benda keramat didalamnya. Namun isu itu masih simpang siur. Dan akibat dari penggalian tersebut, hampir setengah dari jalan aspal yang tepat berada di atas galian itu runtuh.

Keadaan Seha’ yang alami sekarang sedang berjalan menuju kondisi yang cenderung memprihatinkan? Anda bisa amati sendiri.  Jika Seha’ “dikebiri” dengan menrusak kondisi alaminya; pohon-pohon yang ada ditebang dan bukit-bukit di sulap menjadi tandus untuk kebun sawit dan atau kegiatan “eksploitatif” lainnya, maka beberapa tahun ke depan keindahan alami tempat ini hanya akan jadi cerita. Atau bisa jadi, Seha’ akan benar-benar musnah! Apalagi, di Seha’ juga sedang akan dibangun “proyek kolam renang” namun konon sekarang sedang dihentikan pengerjaannya. Meskipun saya tidak tahu persis mengenai pembangunan yang ini, namun tidak salah bila dikaji lebih jauh untuk kepentingan jangka panjang semisal dengan membiarkan linkgungan sekitarnya tampak alami adanya. Mencegah, tentu lebih baik dari pada mengobati bukan? Karena kita tentu tidak menginginkan hal buruk dialami dan terjadi di Seha’ yang pada akhirnya memberi dampak pula bagi warga disekitarnya.

Seha’ akan menjadi tinggal cerita dan bahkan “musnah” kedepan? Tentu ini tidak kita inginkan bukan? Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan kawasan Gunung Seha’ dan keindahannya? Jawabannya adalah banyak! Salah satunya dengan mengganti pohon-pohon sawit itu dengan pohon karet atau tanaman yang lainnya seperti kayu Belian dan pohon Tengkawang atau Angkabakng, yang merupakan tanaman khas Kalimantan Barat. Tanaman-tanaman tersebut sekarang sudah mulai jarang di temui. Jawaban lainnya adalah dengan menjadikan kawasan Seha’ sebagai tempat wisata alami yang tampil apa adanya dengan pemandangan alam dan udaranya yang tetap sejuk. Sepertinya tidak akan terlalu sulit untuk menjadikannya sebagai tempat persinggahan yang bisa membuat setiap orang menjadi betah akan keindahannya jika semua pihak mau bekerjasama. Seha’ yang tampil apa adanya juga akan tetap memberi ruang sumber pencaharian bagi warga yang selama ini memasarkan hasil hutan, hasil kebun dan produk juga berbagai produk lokal lainnya.

Selanjutnya, peran berbagai pihak; terutama pemerintah kabupaten Landak dan adanya kesadaran masyarakat setempat tentang potensi yang ada di Gunung Seha’, akan menjadi penentu tempat ini akan tetap dikenal sebagai gunung yang eksotis dengan suasana pegunungan sejuk. Atau barangkali, kesan yang di dapat tidak lebih dari Seha’ sebagai tempat persinggahan semata? Seha’ akan tinggal cerita? Jangan sampai!.. Semoga.

Naskah ini diterbitkan dalam media lokal Pontianak Post edisi cetak 23 November 2010
lihat di; http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=43229

Selasa, 09 November 2010

Pendidikan, Hak Warga Negara!

By. Cony Margaretha
(Mahasiswi STKIP, Aktifis PMKRI Santo Thomas More Pontianak)

Memperoleh akses pendidikan merupakan hak setiap warga di republik ini, dan negara wajib memfasilitasinya. Begitulah amanat konstitusi. Namun demikian, faktanya apa yang diamanatkan agaknya masih sampai pada angan. Jauh panggang dari api. Pemandangan kontras itu dapat kita nikmati melalui situasi disekitar tempat tinggal.  Semisal suatu pagi di sebuah persimpangan lampu merah beberapa waktu lalu. Seorang anak laki-laki tanpa tutup kepala dan alas kaki sedang menjajakan koran, mengadu nasib. Mengais rezeki ditengah keramaian kota yang bermandikan cahaya matahari pagi kala itu. Ia melangkah pasti, menjajakan koran kepada setiap pengendara yang lewat. Ia terlihat begitu fasih dan kreatif, mendekati calon pembeli dan menawarkan koran dengan harapan ada yang membeli. Begitu pula rekan sebayanya melakoni pekerjaan serupa.

Seharusnya pada jam segitu, anak-anak seumuran mereka berada di sekolah untuk belajar menuntut ilmu. Bagi mereka hanya sebuah mimpi? Karna faktanya, mereka tidak sedang melakon sebagai seorang siswa yang menjalankan tugas-tugas sekolah atau latihan-latihan soal kelas. Yang mereka pikirkan dan lakoni adalah bagaimana mereka dapat bertahan mengais rezeki dengan harapan memperoleh uang untuk membantu ekonomi keluarga.

Fenomena seperti ini adalah sebuah gambaran bahwa lingkaran kemiskinan masih melilit warga negeri ini. Anak-anak seusia mereka masih tidak bisa lepas dari yang namanya kemiskinan. Banyaknya generasi bangsa yang akhirnya menjadi anak jalanan adalah gambaran nyata kemiskinan di Indonesia umunya, dan di Kota Pontianak khususnya.

Mahalnya biaya pendidikan bagi ukuran keluarga seperti anak yang menjajakan koran tersebut menyebabkan banyak diantaranya putus sekolah (tidak dapat melanjutkan pendidikan). Inilah, potret pendidikan saat ini. Kaum miskin seperti tak diberi kesempatan untuk mengenyam bangku sekolah. Mana dan untuk apa anggaran pendidikan (20% dari APBD dan APBN) dengan amanat UU 45 diluar gaji guru dan dosen?  Adakah kesungguhan negera untuk memfasilitasi pendidikan murah bagi mereka yang tidak mampu? Apakah tidak ada jalan yang mampu mengembalikan hak belajar mereka, hak untuk istirahat bagi mereka yang selama ini dirampas oleh kerasnya kehidupan dimasa sekarang?

Semoga apa yang telah digariskan konstitusi tidak hanya isapan jempol belaka. Harapkan dari suara yang dikumandangkan mahasiswa saat mengenang peristiwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober lalu mengenai akses sekolah gratis bagi warga dinegeri ini khususnya anak-anak yang dari keluarga kurang mampu dapat didengarkan dan direalisasikan. Pemimpin yang peka pasti mendengarkan, namun pemimpin yang peduli akan mewujudkan mimpi anak-anak tersebut untuk bisa mengenyam pendidikan. Karena mendapat pendidikan adalah hak semua warga negara. Semoga!

(Naskah ini diterbitkan dalam Pontianak Post edisi cetak tanggal 11 November 2010)