Rabu, 22 Desember 2010

Menjaga Hutan, Warisan leluhur?

By. Evifania Triastuti
*) Penulis Mahasiswi UPI Bandung, asal Landak.
Baru-baru ini, kita disuguhi dengan fenomena yang tragis juga memilukan hati karena muncul rasa iba saat dimana bencana Merapi, Mentawai dan Wasior mengusik ketenangan hidup saudara-saudara kita dengan berbagai dinamikanya. Bencana itu bahkan harus melenyapkan nyawa-nyawa tak berdosa. Hati kita miris dan sedih sebagai ungkapan naluriah sebagai makhluk yang dianugerahi kemampuan untuk merasa. Alam seolah mengganas dan tidak memberi ampun. Dampak lain dari bencana itu, aktifitas perekonomian lumpuh dan bahkan akhir-akhir ini gerakan transmigrasi digulirkan secepat kilat bagi para korban (korban Merapi). Baru-baru ini, mereka juga tiba di kota Khatulistiwa yang akan ditempatkan pada sejumlah daerah dan diantaranya akan dipekerjakan di perkebunan sawit. Apa yang terjadi? Bencana yang terjadi seakan melegitimasi gerakan transmigrasi yang terhubung dengan perkebunan sawit. Keterkaitan antara transmigrasi dan perkebunan sawit memang bukan hal yang baru, dan sudah pasti memberi sejumlah konsekuensi pada lingkungan baru mereka.

Musibah merapi, Mentawai dan Wasior dengan berbagai gejala yang menyertainya tentu bagian kecil dari dinamika yang mau tidak mau telah menjadi bagian dari persoalan bangsa, persoalan negeri ini yang tidak begitu saja mudah lepas dari bencana. Di Kalimantan Barat beberapa waktu lalu, bencana itu juga hadir dengan wujudnya melalui air yang meluap (banjir) disejumlah daerah. ”Kapuas Hulu lumpuh! Bahkan kali ini termasuk bencana banjir terbesar yang pernah terjadi”. Begitulah pesan yang ditanggap bila kita mengikuti pemberitaan di media massa. Pertanyaannya kemudian adalah; mengapa bisa terjadi?; Apa yang telah menyebabkannya terjadi?; Dan Siapa pihak rentan yang cenderung dirugikan?; Siapa yang harus bertanggungjawab?

Ada api, maka ada pula asap. Atau tidak ada asap tanpa sumber api. Logika ideal ini kiranya dapat dijadikan basis argumentasi untuk menjelaskan terjadinya fenomena banjir tersebut. Bahwa telah terjadi intervensi manusia melalui tindakannya terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang ada. Terbabatnya sejumlah kawasan hutan skala besar yang turut mengancam ketersediaan lahan pertanian dan sumber air bagi rakyat adalah bagian dari wilayah intervensi yang hari ini masih saja bergulir sabagai bagian dari kebijakan pemerintah di daerah melalui perizinan yang diberikan kepada investor. Atas fenomena dan bencana yang dialami, tentunya setiap orang punya tanggungjawab moril yang sama untuk sedapat mungkin bisa berkontribusi bagi persoalan yang diderita sesama sebagai akibat lain dari kondisi yang dialami.

Lantas siapa warga rentan yang cenderung dirugikan ketika kawasan penyangga (hutan) dan sekitarnya terkuras dan bahkan berbuah musibah itu? bila kita bicara dalam konteks Kalimantan Barat, maka salah satu pihak yang akan sangat dirugikan adalah mereka yang selama ini menggantungkan hidup dan kehidupannya pada kekayaan sumber daya alam berupa hutan, tanah, air dan udara bersih yang gratis.

Masyarakat Dayak misalnya, adalah salah satu komunitas yang selama ini tinggal disekitar kawasan hutan dan mengandalkan hutan, tanah dan air sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Masyarakat Dayak tidak akan berdaya jika hutan-hutan yang sudah mereka anggap sebagai “rumah” mereka dibabat habis.  Disamping itu, ketergantungan orang Dayak terhadap lingkungan hutan dengan sumber daya alam yang dimiliki maka boleh dibilang hutan merupakan identitas mereka. Selama ini mereka bekerja, mencari nafkah dan hidup dari hutan. Namun seiring  dengan perkembangan jaman dan lajunya arus globalisasi dengan gaya hidup hedonis dialam modern menuntut mereka ”dipaksa” mengalah demi mengikuti perkembangan zaman dengan model pembangunan eksploitatif terhadap sumber hidup mereka.

Kebanyakan dari komunitas warga yang juga dikenal sebagai orang pedalaman ini menyerahkan sebagian dari hidup mereka untuk mengabdi kepada ”aturan rimba” dan pada akhirnya merenggut hak mereka sebagai pewaris harta leluhur. Akhirnya kehilangan tempat bernaung untuk kelangsungan hidup anak dan cucu mereka. Ketidakberdayaan ini didukung pula oleh pihak-pihak yang sesungguhnya mengerti persoalan yang dihadapi mereka, tapi terkesan sengaja menutup mata hanya untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Tanpa memikirkan generasi yang nantinya akan menikmati hasil dari keserakahan mereka.

Bisa dilihat dari dampak dari pembabatan hutan dan kegiatan eksploitasi lainnya terhadap kesejahteraan masyarakat Dayak, banyak dari mereka yang justeru kehilangan daya untuk membela hak mereka. Sementara, perjuangan yang berbasis kesadaran untuk merebut kembali hak-hak mereka atas sumber daya alam seringkali ”dihalangi” melalui upaya kriminalisasi dan proses jalur hukum negara yang sulit dimengerti bagi warga pedalaman kebanyakan.

Dalam konteks perubahan ideal, setiap aspek kehidupan memang harus berubah ke arah yang lebih baik dengan terus mengikuti perkembangan zaman. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah; apakah harus merusak hutan besar-besaran untuk menuju ke perubahan yang lebih baik? Apa jaminan untuk masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan dan alam di sekitarnya? Dengan merusak hutan semaunya melalui pembukaan kawasan hutan skala besar melalui perkebunan sawit, beginikah cara kita untuk menghormati harta warisan leluhur yang seharusnya menjadi kebanggaan dunia? Masih banyak cara untuk mencapai tujuan tersebut tanpa harus merusak hutan. Catatan refleksi berikutnya yang patut disadari kita, pastinya masih terdapat rasa dan kemauan untuk tetap memperjuangkan serta menjaga harta warisan leluhur berupa hutan dan keanekargaman hayati didalamnya. Merusak hutan dengan cara eksploitatif adalah jalan pasti menuju perubahan yang tidak menguntungkan bagi warga pedalaman. Perusakan hutan jalan pasti menuju pemiskinan bagi warga pedalaman. Pemerintah daerah masih berani ingin mencoba? Baiknya jangan! Maksimalkan pengelolaan yang telah ada, jeda tebang sekarang juga. Beri kedaulatan akses dan kontrol rakyat atas lingkungan dan sumber daya alamnya.