Jumat, 26 Agustus 2011

Selamat Jalan Lico

Alm. Lico saat di rawat

Pemberkatan makam oleh Br. Stefanus Paiman, Ofm cap
By. Hendrikus Adam*

SOE HOK GIE seorang aktivis idealis di zamannya mengutif pernyataan seorang filsuf Yunani suatu ketika mengatakan; "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."

Abang dari (alm) Lico, Michel (9 th) bersama keluarga
menabur bunga di makam
Kalimat 'sakti' yang diucapkan Soe Hok Gie (meninggal diusia 29 tahun) ini mengingatkan kita sekaligus ”hiburan” bagi mereka yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh seseorang yang dikasihi menuju dunia lain. Mengingatkan kita kembali akan arti hidup dan kematian. Kita berasal dari pada-Nya dan pastilah akan kembali kepada-Nya. Pengembaraan manusia dalam dunia fana  telah digariskan olehNya dalam buku kehidupan Sang Khalik. Penuh misteri dan kita tidak tahu entah kapan waktunya tiba menjemput. Satu dari saudara kita telah pergi lebih awal dijemput ajal dengan usia yang sangat muda namun tak bercela.

Jumat pagi tanggal 26 Agustus 2011, tepatnya pukul 02.30 wiba menjadi kesempatan terakhir bagi (alm) Lico menghirup udara segar melalui selang oksigen yang terpasang di rongga hidungnya. Penderita sakit paru-paru dan lumpuh yang dirujuk di Rumah Sakit Soedarso sejak satu minggu lalu (20/8) kini menghembuskan nafas terakhir.

Ia dipanggil menghadap Bapa dengan posisi tubuh terbujur kaku dalam sebuah ruang  perawatan PICU-NICU di Rumah Sakit Daerah Soedarso Pontianak. PICU singkatan dari Paediatric Intensive Care Unit, merupakan unit perawatan intensif untuk anak anak. Sedangkan NICU (Neonate Intensive Care Unit) merupakan unit perawatan intensif untuk bayi baru lahir (neonatus) yang memerlukan perawatan khusus. Di ruang ini, Lico anak bungsu dari tiga bersaudara (Tipanifing, Michel, Lico) itu terdiam kaku dengan mata terpejam untuk selamanya.

Rasa sedihpun mengalir dari benak dan raut wajah kakek, nenek dan kerabatnya. Juga para kenalan dan para sahabat yang selama beberapa terakhir mengunjunginya.

Siapa gerangan (alm) Lico dan bagaimana proses pengobatannya selama ini? Lico adalah seorang anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu. Ibunya Tina (29) bersama kakak tertuanya kini pergi meninggalkannya sejak tiga tahun terakhir mengadu nasib di Limbang, negeri Jiran – Malaysia. Sedangkan ayahnya Yellow (30), kini tak berkabar. Entah kemana. Sejak tiga tahun terakhir, kedua orang tuanya meninggalkan anak yang terlahir tak berdosa. Maka tinggallah ia bersama abangnya Michel (9 th). Keduanya tinggal bersama Radius dan Peen, kakek dan neneknya di kampung.

Di usia dua tahun lebih kondisinya sehat seperti anak-anak kebanyakan, tetapi menginjak usia hampir tiga tahun karena terjatuh entah bagaimana jalan ceritanya saat itu, kondisi kakinya terbentur dan mengalami memar serius. Proses pengobatan awal dilakukan saat itu oleh pihak keluarga melalui jasa Sinsang. Beberapa kali berobat kondisinya saat itu pun lumayan membaik.

Selang beberapa waktu, bekas benturan di bagian paha Lico sebelah kiri tampak seperti bisul. Terkadang digaruk karena terasa gatal. Kondisi kaki Lico saat itu kembali kambuh dan kemudian lumpuh serius seperti yang dialami kini. Berbagai upaya untuk menyembuhkan penyakit dengan berobat ke mantri dan pengobatan ala kampung pun dilakukan, namun tak kunjung sembuh. Setelah diperiksa, ternyata gumpalan nanah tertampung dibalik selubung kulit yang tampak seperti bisul tersebut. Singkat cerita, pihak keluarga mulai cemas atas kondisi anak yang telah memasuki usia sekolah dasar tersebut. Keluarga merasa cemas, karena tidak ada biaya lagi untuk berobat. Sementara kedua orang tua Lico tidak bersamanya. Tina ibu Lico tak bisa pulang, Ia tidak diizinkan sang majikan untuk pulang karena masa kontraknya masih belum habis. Puncak dari situasi ini, kakek-nenek bersama keluarga berembuk. Lico diputuskan untuk dibawa berobat ke Rumah Sakit Ngabang.

Jum’at tanggal tanggal 19 Agustus 2011. Tepatnya dua hari setelah negeri ini mengenang hari jadinya (merdeka-red), empat orang warga kampung Sunge Lubakng (Sungai Lubang) yang terdiri dari Bidus, Peen bersama anak bungsunya Heni (16 th) dan juga Lico bergerak mengayunkan langkah menelusuri jalan setapak melewati kampung Reo’ dan kampung Babuntikng menuju Pasar Anik. Kepergian mereka untuk berobat hanya berbekal uang Rp.500.000. Kondisi daerah yang masih terisolir jauh dari pusat kota mamaksa mereka untuk memacu perjalanan dengan berjalan kaki selama 2,5 jam. Sepanjang perjalanan, Lico terus digendong sang kakek. Sesampai di Anik, mereka melanjutkan perjalanan menuju Ruma Sakit Daerah di ibukota Kabupaten Landak yakni Ngabang mengendarai angkutan. Sementara Heni anak bungsu dari delapan bersaudara buah kasih Bidus dan Peen hanya mengantar sampai ke Anik selanjutnya kembali pulang ke rumah di Kampung Sungai Lubang. Sesampai di rumah sakit Ngabang, Lico mendapat perawatan. Ia di Rontgen dan di infus. Hasil rujukan pihak rumah sakit menyampaikan bahwa Lico menderita sakit paru-paru dan lumpuh.

Tidak ada niat untuk nginap dalam benak Bidus dan Peen kala itu, tetapi usai pemeriksaan pihak Rumah Sakit memberikan pilihan rujukan untuk berobat bagi Lico; berobat di RSD Sanggau atau RSD Soedarso Pontianak? Saat itu, praktis kakeknya Bidus memilih untuk membawa cucunya ke Rumah Sakit di Pontianak. Pertimbangannya cukup sederhana, di Sanggau tidak orang yang dikenal. Sedangkan bila di Pontianak setidaknya ada anak laki-lakinya Dika, yang diharapkan dapat membantu. Pilihan Bidus memutuskan untuk merujuk cucunya Lico ke rumah sakit di Pontianak terbilang nekat karena hanya bermodalkan sisa uang yang disisihkan dari berobat di Ngabang yakni hanya sebesar Rp. 49.000. Pun demikian, sekitar tiga puluh delapan ribu menurutnya masih belum dilunasi saat itu. Sisa uang itu kemudian beralih tangan. Jari kanan Lico mengenggam erat 7 (tujuh) lembaran uang kertas rupiah yang berjumlah Rp. 49.000 tersebut.

Dalam hati, kakeknya Bidus bersama istri kala itu pasrah. Namun keduanya yakin masih ada kasih dari orang-orang yang mungkin bisa membantu kelak. Sebelum berangkat ke Pontianak, merekapun saat itu menginap semalam di Ngabang, di tempat anak perempuan Bidus dan Peen.

Esok hari tepatnya Sabtu, 20 Agustus 2011 Lico dibawa ke Pontianak menggunakan jasa bus angkutan ”Via Ria” hingga ke terminal Batu Layang. Perjalanan mereka mulus. Hati Bidus lega karena sepeserpun ia bersama istri dan cucunya tidak dipungut biaya. ”Sopir dan kernet bus baik dengan kami, mereka tak memungut tambang dan bahkan kami ditempatkan di tempat duduk bagian depan,” kisah Bidus.

Gelora gerakan kemanusiaan peduli Lico pun dilakukan oleh sekelompok pemuda, yakni sebuah cara yang sedianya dapat menggugah hati untuk peduli terhadap nasib sesama yang sungguh memerlukan. Upaya ini juga turut dibantu pihak media dalam upaya publikasi. Pastinya Lico bersama keluarga hanya bisa membalas uluran kasih Anda dengan doa dan biarlah Tuhan yang Maha Kasih membalas segala kebaikan para dermawan sekalian.

Tepat hari Jumat 26 Agustus 2011, Lico menghembuskan nafas terakhirnya. Selama seminggu persis ia berada di rumah sakit hingga menghembuskan nafas terakhir. Dalam dialog bersama pihak keluarga, mereka menyampaikan terima kasih. Jumlah sumbangan dana cash yang diterima dari para dermawan sebesar Rp. 2.635.000. Dana ini digunakan untuk berbagai keperluan keluarga selama perawatan. Pihak keluarga juga menyampaikan terima kasih kepada donatur yang menanggung total biaya perawatan (alm) Lico selama di rumah sakit, serta terima kasih juga pihak keluarga sampaikan kepada para wartawan yang turut membantu dalam memberitakan kondisi yang dialami (alm) Lico.

Melihat lebih jeli sesungguhnya kasus yang dialami Lico bukan hanya soal sakit yang diderita semata. Pengalaman yang dialami dalam kasus Lico adalah sebuah fenomena kemanusiaan ketika warga miskin di negeri kaya ini masih harus berjuang keras untuk terhindar dari sakit. Sebuah fenomena yang seakan membenarkan sebuah realita dalam kamus kehidupan masa kini bahwa; “Orang Miskin dilarang Sakit?”. Sebuah pesan mengesankan, namun memiriskan.

Kasus yang dialami Lico ingin memberi pesan lain betapa ”kemerdekaan” dari derita sakit masih belum bisa diraih sepenuhnya oleh anak seusia Lico karena kondisi ketidakmampuan keluarga. Sebuah gambaran betapa kebutuhan dasar atas kesehatan ternyata masih belum bisa diraih sepenuhnya oleh warga negara asal Landak ini yang juga bagian dari Ibu Pertiwi. Kisah ini patut menjadi pelajaran dan refleksi pemerintah di negeri ini. Pelajara dan refleksi bagi kita semua. Terlebih masih banyak ”Lico-Lico” lainnya yang pastinya menanti kasih dan perhatian sebagai insan yang terlahir sama. Semoga kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya sebagaimana amanat konstitusi khususnya sungguh mendapat perhatian serius. Semoga pula “kewajiban” setiap anak manusia untuk menyisihkan kepedulian dengan membagi kasih bagi sesama kian membumi.  

Atas kepergian (alm) Lico, keluarga merasa berduka, dan kita juga merasa kehilangan. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Santo Yusuf Jalan Adisucipto Pontianak. Tanggal 25 Januari 2005 – 26 Agustus 2011 adalah deretan angka tanggal, bulan dan tahun yang istimewa bagi  (alm) Lico, yang telah menggenapi suratan Sang Illahi. Kita yakin dia kini telah menemukan tempat abadi dalam pangkuan-Nya. Semoga pihak keluarga tabah dan diberi kekuatan dalam kenyataan ini. Kiranya Tuhan membalas kebaikan Anda, para donator dan relawan yang telah turut peduli. Teristimewa untuk saudara kita yang telah pergi lebih awal, selamat jalan dalam damaiNya. Rest in Peace, Selamat jalan untuk Lico.

*) Panulis, insan yang terlahir sebagai orang kampong.

Lico, Menanti Uluran Kasih Anda

Naskah ini merupakan uraian tragedi kemanusiaan yang membutuhkan uluran kasih sesama. Tanggal Kamis tanggal 25 Agustus 2011 tadi malam, naskah ini baru rampung. Semula ingin dipublis melalui media dengan harapan dapat mengajak para sahabat memberi uluran kasih. Namun demikian, kondisi Lico anak usia 6 tahun penderita sakit paru-paru dan lumpuh tidak dapat bertahan lama. Tepat pukul 02.30 wiba, ia menghembuskan nafas terakhir. Hingga dimakamkan di Pemakaman Katolik Santo Yusuf, (alm) Lico tidak ditemani ke dua orang tua. Hanya pihak keluarga yang hadir. Tulisan ini menjadi kenang-kenangan. Terima kasih untuk doa dan bantuan para donatur.

By. Hendrikus Adam*

Tatapan mata Lico, seorang bocah usia enam tahun penderita sakit lumpuh dan paru-paru asal kampung Sunge Lubakng (Sungai Lubang) di Kabupaten Landak tampak tak berkedip kala mendapat lawatan para sahabat dan insan pers pada Rabu (24/8). Hari itu bisa jadi hari baik, karena sejak empat malam sudah dirawat dalam ruang perawatan anak biasa dengan nomor kamar 27, baru saat itu mendapat tempat untuk dirawat intensif dalam sebuah ruang PICU-NICU di Rumah Sakit Daerah Soedarso Pontianak. PICU singkatan dari Paediatric Intensive Care Unit, merupakan unit perawatan intensif untuk anak anak. Sedangkan NICU (Neonate Intensive Care Unit) merupakan unit perawatan intensif untuk bayi baru lahir (neonatus) yang memerlukan perawatan khusus. Di ruang ini, Lico anak bungsu dari tiga bersaudara (Tipanifing, Michel, Lico) itu terdiam kaku dengan selang oksigen terpasang dalam rongga hidung yang membantu proses pernafasannya. Demikian juga selang infus terpasang dengan cairan bening mengalir perlahan dalam pergelangan tangannya, sementara elektrokardiograf (alat deteksi jantung) terdengar naik turun bak irama sebuah musik ”tit tut tit tut...”.

Siapa gerangan Lico? Dia adalah seorang anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu. Ibunya Tina (29) bersama kakak tertuanya kini pergi meninggalkannya sejak tiga tahun terakhir mengadu nasib di Limbang, negeri Jiran. Sedangkan ayahnya Yellow (30), kini tak berkabar. Entah kemana. Sejak tiga tahun terakhir, kedua orang tuanya meninggalkan anak yang terlahir tak berdosa. Maka tinggallah ia bersama abangnya Michel (9 th). Keduanya tinggal bersama Radius dan Peen, kakek dan neneknya di kampung. Di usia dua tahun lebih kondisinya sehat seperti anak-anak kebanyakan, tetapi menginjak usia hampir tiga tahun karena terjatuh entah bagaimana jalan ceritanya saat itu, kondisi kakinya terbentur dan mengalami memar serius. Proses pengobatan awal dilakukan saat itu oleh pihak keluarga melalui jasa Sinsang. Beberapa kali beropat kondisinya saat itu pun lumayan membaik.

Selang beberapa waktu, bekas benturan di bagian paha Lico sebelah kiri tampak seperti bisul. Terkadang digaruk karena terasa gatal. Kondisi kaki Lico saat itu kembali kambuh dan kemudian lumpuh serius seperti yang dialami kini. Berbagai upaya untuk menyembuhkan penyakit dengan berobat ke mantri dan pengobatan ala kampung pun dilakukan, namun tak kunjung sembuh. Setelah diperiksa, ternyata gumpalan nanah tertampung dibalik selubung kulit yang tampak seperti bisul tersebut. Singkat cerita, pihak keluarga mulai cemas atas kondisi anak yang telah memasuki usia sekolah dasar tersebut. Keluarga merasa cemas, karena tidak ada biaya lagi untuk berobat. Sementara kedua orang tua Lico tidak bersamanya. Tina ibu Lico tak bisa pulang, Ia tidak diizinkan sang majikan untuk pulang karena masa kontrknya masih belum habis. Puncak dari situasi ini, kakek-nenek bersama keluarga berembuk. Lico diputuskan untuk dibawa berobat.

Jum’at tanggal tanggal 19 Agustus 2011. Tepatnya dua hari setelah negeri ini mengenang hari jadinya (merdeka-red), empat orang warga kampung Sunge Lubakng (Sungai Lubang) yang terdiri dari Bidus, Peen bersama anak bungsunya Heni (16 th) dan juga Lico bergerak mengayunkan langkah menelusuri jalan setapak melewati kampung Reo’ dan kampung Babuntikng menuju Pasar Anik. Kepergian mereka untuk berobat hanya berbekal uang Rp.500.000. Kondisi daerah yang masih terisolir jauh dari pusat kota mamaksa mereka untuk memacu perjalanan dengan berjalan kaki selama 2,5 jam. Sepanjang perjalanan, Lico terus digendong sang kakek. Sesampai di Anik, mereka melanjutkan perjalanan menuju Ruma Sakit Daerah di ibukota Kabupaten Landak yakni Ngabang mengendarai angkutan. Sementara Heni anak bungsu dari delapan bersaudara buak kasih Bidus dan Peen hanya mengantar sampai ke Anik selanjutnya kembali pulang ke rumah di Kampung Sungai Lubang. Sesampai di rumah sakit Ngabang, Lico mendapat perawatan. Ia di Rontgen dan di infus. Hasil rujukan pihak rumah sakit menyampaikan bahwa Lico menderita sakit paru-paru. Tidak ada niat untuk nginap dalam benak Bidus dan Peen kala itu, tetapi usai pemeriksaan pihak Rumah Sakit memberikan pilihan rujukan untuk berobat bagi Lico; berobat di RSD Sanggau atau RSD Soedarso Pontianak? Saat itu, praktis kakeknya Bidus memilih untuk membawa cucunya ke Rumah Sakit di Pontianak. Pertimbangannya cukup sederhana, di Sanggau tidak orang yang dikenal. Sedangkan bila di Pontianak setidaknya ada anak laki-lakinya Dika, yang diharapkan dapat membantu. Pilihan Bidus memutuskan untuk merujuk cucunya Lico ke rumah sakit di Pontianak terbilang nekat karena hanya bermodalkan sisa uang yang disisihkan dari berobat di Ngabang yakni hanya sebesar Rp. 49.000. Pun demikian, sekitar tiga puluh delapan ribu menurutnya masih belum dilunasi saat itu. Sisa uang itu kemudian beralih tangan. Jari kanan Lico mengenggam erat 7 lembaran uang kertas rupiah tersebut. Dalam hatinya, Bidus bersama istri pasrah. Namun keduanya yakin masih ada kasih dari orang-orang yang mungkin bisa membantu kelak. Sebelum berangkat ke Pontianak, merekapun saat itu menginap semalam di Ngabang, di tempat anak perempuan Bidus dan Peen.

Esok harinya tepatnya Sabtu, 20 Agustus 2011 Lico dibawa ke Pontianak menggunakan jasa bus angkutan ”Via Ria” hingga ke terminal Batu Layang. Perjalanan mereka mulus. Hati Bidus lega karena sepeserpun ia bersama istri dan cucunya tidak dipungut biaya. ”Sopir dan kernet bus baik dengan kami, mereka tak memungut tambang dan bahkan kami ditempatkan di tempat duduk bagian depan,” kisah Bidus.

Di Batu Layang, Bidus, Peen dan Lico dijemput Dika bersama temannya. Dika adalah anak laki-laki mereka yang kini kuliah di Sekolah Tinggi Theologi Pontianak (STTP). Ketiganya langsung dibawa di Rumah Sakit Daerah Soedarso sebagaimana rujukan dari Rumah Sakit sebelumnya. Lico kemudian dirawat dalam ruangan perawatan anak biasa dalam kamar nomor 27. Di tempat perawatan kondisi Lico masih seperti biasa, namun kondisi beran badannya berangsur menurun. Bidus bersama Peen dihadapkan pada persoalan keterbatasan biaya. Tidak ada Jamkesmas apalagi Jamkesda. Lico terancam dipulangkan. Bidus dan Peen berencana untuk membawa pulang cucu yang masih dalam kondisi lemas dan tak tahu apa-apa karena sakit yang di derita. Disaat kondisi yang kritis seperti ini, kasih-Nya bekerja. Gelora dan rasa kemanusiaan menggerakkan hati sekelompok kamu muda untuk mencoba membantu dengan segala keterbatasan. Mereka tak pernah mengenal Lico sebelumnya.

Adalah Felik, pemuda asal Ngabang yang saat itu bertindak lebih gesit. Ia berinisiatif menghubungi saya bersama beberapa rekan; Leo, Philipus, Aleksander Mering, dan beberapa teman lainnya untuk betemu di Rumah Betang jalan Sutoyo. Dika, paman Lico juga hadir saat itu. Sebelumnya saya mengajak Felik untuk ketemu di kantin RS Antonius, karena sore kala itu saya sedang membesuk keluarga yang sedang sakit. Felik mengetahui berita tersebut dari kawan Dika yakni Yanto. Nama Lico bagi saya dan beberapa teman memang asing, saya sendiri baru diperkenalkan namanya dari Felik beberapa jam sebelum kami berjumpa. Kami mencoba kumpul. Saya percaya spirit kepedulianlah yang mempertemukan kami.  Sore jam 15.00 wiba saat itu, kami bertemu di Betang untuk mencari solusi bersama atas kondisi yang dialami Lico, pasien pengidap sakit paru-paru dan lumpuh. Alhasil beberapa alternatif solusi terrumuskan. Menghubungi orang-orang yang dianggap potensial membantu, juga memberi tahu insan pers mengenai kondisi yang dialami Lico untuk mendapat dukungan publik. Terpenting untuk jangka pendek, mamastikan kejelasan status Lico yang sedang berada di Rumah Sakit. Kami bertekad berapapun bantuan yang diberikan akan dipertanggungjawabkan. Pihak media juga kami harapkan dapat membantu. Usai pertemuan kami bubar. Saya paling belakang pulang, karena sebelumnya ditelpon seorang teman wartawan.

Haripun kemudian terus bergulir, dan niat baik demi kemanusiaan menjadi dasar dari upaya yang dilakukan. Alhasil, sejumlah pihak yang dihubungi memberikan respon baik. Tidak sedikit pula diantaranya yang hanya memberi tanggapan seperlunya dan menyampaikan terima kasih untuk informasi yang kami sampaikan. Bahkan ada yang diantaranya tidak memberikan respon sama sekali. Diantara pihak yang menghubungi balik bahkan ada yang menyarankan untuk menghadap Bupati Landak langsung untuk mempertanyakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Ada juga yang kemudian menanyakan siapa pemilik hp 085245251907, pengirim pesan solidaritas untuk Lico.

Melihat sekilas asal kampung anak pengidap sakit paru-paru dan lumpuh di Sungai Lubang, membuat hati terasa miris. Kampung Sungai Lubang merupakan sebuah dusun yang termasuk dalam Desa Sungai Lubang, tepatnya di Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak. Desa Sungai Lubang sendiri terdiri dari empat dusun yakni Andong, Melangir, Reo’ dan Sunge Lubakng. Di kampung Sunge Lubakng sedikitnya terdapat 58 kepala keluarga. Kondisi daerah ini masih jauh dari jangkauan pembangunan. Bangunan Polindes  hanya satu unit, namun kini tidak ada tenaga medis satu orang pun di sana. Gedung Sekolah Dasar juga cuman hanya satu unit yakni SDN 13 Tolo’, terletak di Desa Tolo’. Sekolah ini merupakan satu-satunya SD yang menampung anak-anak usia sekolah dasar dari enam Desa di Kecamatan Menyuke yakni; Desa Sungai Lubang, Tolo’, Ojak, Karonang, Sadange dan Ngaro.

Lico adalah anak tak berdosa yang pastinya tidak pernah berkeinginan terlahir dari keluarga kurang mampu. Ia juga tentu tidak pernah berniat untuk menjadi orang yang menderita sakit seperti yang ia alami kini. Sekalipun kini mulai di rawat intensif di ruang PICU-NICU, tetapi kondisinya masih sangat membutuhkan uluran kasih para dermawan. Kakek Lico, Bidus bahkan berencana akan pulang untuk mengambil beras di kampung agar dapat bertahan, namun ia masih bingung karena tidak ada alat masak di Rumah Sakit milik pemerintah daerah tersebut. Beliau sepertinya tidak lagi peduli pada kesehatannya, selama empat hari tidak tidur memikirkan kondisi cucunya. Selera makan pun kurang. Semua itu dilakukan untuk Lico agar lebih baik.

Gelora gerakan kemanusiaan peduli Lico adalah sebuah cara yang sedianya dapat menggugah hati untuk peduli terhadap nasib sesama yang sungguh memerlukan. Pastinya Lico bersama keluarga hanya bisa membalas uluran kasih Anda dengan doa dan biarlah Tuhan yang Maha Kasih membalas segala kebaikan para dermawan. Informasi dan bantuan peduli Lico dapat disalurkan melalui Bank BRI dengan nomor rekening 127701000271536 dan rekening Bank BNI 010 010 8284 atas nama Philipus. Informasi lebih lengkap silahkan hubungi nomor Handphone berikut; Felik (082149319690), Philipus (085252001893), Dika (085245279496), Mering (081257589789), Leo (085252573594) dan Adam (085245251907).

Melihat lebih jeli sesungguhnya kasus yang dialami Lico bukan hanya soal sakit yang diderita semata. Pengalaman yang dialami dalam kasus Lico adalah sebuah fenomena kemanusiaan ketika warga miskin di negeri kaya ini masih harus berjuang keras untuk terhindar dari sakit. Kasus yang dialami Lico ingin memberi pesan lain betapa ”kemerdekaan” dari derita sakit masih belum bisa diraih sepenuhnya oleh anak seusia Lico karena kondisi ketidakmampuan keluarga. Sebuah gambaran betapa kebutuhan dasar atas kesehatan ternyata masih belum bisa diraih sepenuhnya oleh warga negara asal Landak ini. Kisah ini patut menjadi pelajaran dan refleksi pemerintah di negeri kita, terlebih masih banyak ”Lico-Lico” lainnya yang membutuhkan perhatian. Semoga kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya sebagaimana amanat konstitusi khususnya sungguh mendapat perhatian serius.

*Panulis, manusia biasa asal kampung