Kamis, 20 Januari 2011

Mempertegas Afiliasi Identitas Sebagai Wacana Perdamaian


Oleh: Bambang Bider

Kenyataannya dunia hampir tak memiliki batas, pengalaman dan kesadaran kita telah sampai pada tahap menyadari dimana kemajuan teknologi di berbagai bidang informasi, telah membuat dunia terpapar begitu luas, beragam, kaya dan dalam kepada setiap individu tak terbatas pada golongan usia, kelas social serta tempat dan waktu. Seolah-olah untuk mengetahui isi dunia ini, hanya tekan satu tombol saja, maka dunia akan terpapar. Secara unity tak ada lagi batas administrasi kawasan–negara, semuanya absurd, dunia telah menjadi semacam global village. Satu aspek kondisi tersebut begitu menguntungkan, namun sekaligus begitu rentan.
Rentang jarak dan waktu, tak lebih dari sekedar ilusi. Jarak dan waktu tak lebih dari sederet digit nomor telepon, handphone, nomor chanel pada tuts remote televisi atau keyboard laptop (computer), yang sekali tekan maka tersambung, terpapar, tergelarlah semuanya. Tak ubah menu, tinggal pilih…terserah. Semuanya dari idea manusia dan perspektif manusia melihat dunia (manusia lain).
Manusia sebagai subjek melihat serta menemukan manusia lain yang sama, sebagai obyek dan sebaliknya. Manusia mendefinisikan manusia, manusia mereduksi nilai manusia, manusia dengan budaya dan identitasnya sebagai produk budaya yang dihasilkan membangun manusia pula yang paling parah kita saling bertikai karenanya. Ditengah keterpaparan itu kita mencari jati diri, tentu saja kita memiliki banyak pilihan. Tentu saja kita bisa memilih, menentukan dengan sadar, walau pun terkadang tidak juga.

Manusia mencari dan menemukan identitas di tengah keterpaparannya. Keterpaparan yang rentan terhadap pengerdilan kemanusiaannya, bahkan ditengah ironi seolah kita tidak memiliki pilihan selain, hanya tunduk kepada satu-satunya kategori yaitu identitas tunggal.

Dalam pemahaman yang extrem, identitas telah mengasingkan manusia dari sesamanya, seolah-olah kemanusiaan kita hanya ditakar berdasarkan salah satu dari kategori: suku, agama, pandangan politik, kelompok dll. Manusia sekarang memang kemudian menemukan dirinya hanya direduksi dalam identitas suku bangsa, agama, warna kulit, pandangan politik dan ideology. Indikasinya manusia hanya mencari tempat berlindung dari keterpaparannya.

Dunia yang terpapar dipandang tak aman lalu, kita mengasingkan diri dan mencari perlindungan pada sekat-sekat suku, agama, pandangan politik sebagai upaya ini tak lebih dari sekedar hasil sebuah pengkotak-kotakan, sebuah hasil klasifikasi-klasifikasi, pengkategorian, komunitas-komunitas berlabel tertentu, sebuah hasil penyederhanaan yang membuat kita terkadang ”malu menjadi manusia”.

Identitas Bukan Takdir.
Identitas tunggal adalah ilusi tentang takdir. Identitas tunggal atau yang lainnya (beserta dampak ikutannya) dapat menumbuhkan kekerasan di dunia ini secara sengaja maupun tak sengaja.

Kita mengidentifikasikan diri berdasarkan salah satu kategori-kategori identitas yang terpapar seolah identitas adalah sebuah takdir walaupun, memiliki identitas adalah keniscayaan. Namun merasakan dan menganggapnya sebagai sebuah takdir adalah sesuatu yang harus direnungkan dan dipikirkan ulang.

Adik saya seorang ”Dayak” menikah dengan gadis ”Jawa”, jadi identitas anaknya adalah ”Dayak – Jawa”, namun kelak seandainya keponakan saya itu sudah dewasa menjadi seorang wartawan maka ia adalah ”Dayak – Jawa dan seorang Wartawan” sebagai manusia sosial, ia akan bergaul, kemudian, menyerap nilai-nilai dari afiliasi identitas yang sama dari seorang ”Dayak – Jawa dan seorang Wartawan” lainnya. Walau pun ternyata ia bergaul dengan ”Dayak – Tionghoa dan seorang Wartawan” maka ada dua afiliasi identitas yang saling terhubung.

Seandainya nanti menikah dengan gadis ”Melayu” dan memiliki anak lagi, maka si anak akan menyandang identitas ”Dayak – Jawa – Melayu” dan seterusnya entah apa lagi.

Sebuah buku bagus yang ditulis oleh Steve Olson berjudul Mapping Human History tentang Gen, Ras, dan Asal – Usul Manusia mengungkapkan, fakta hasil penelusuran asal-usul manusia melalui penelitian terhadap DNA manusia. Olson mengungkapkan ”...akan tetapi, betapa pun kompleksnya, bukti genetik yang tersedia sekarang mengarah pada sebuah kesimpulan yang jujur. Menurut informasi dalam DNA kita, setiap orang yang hidup saat ini merupakan keturunan sekelompok kecil orang Afrika yang hidup antara 100.000 – 200.000 tahun lalu...”. Jadi hampir pasti kita semua saling terhubung.

Kebebasan untuk menyatakan identitas pribadi kita kadang menjadi sangat terbatas dalam pandangan pihak lain, terlepas bagaimana kita memandang diri kita sendiri.

Perendahan seseorang atau suatu kelompok tidak semata dilandasi oleh penggambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan, melainkan juga oleh ilusi tentang adanya identitas tunggal yang mesti dikenakan oleh satu pihak kepada pihak kepada pihak lain yang direndahkan itu.

Fenomena global reduksi identitas manusia dalam identitas tunggal adalah wacana yang membagi penduduk dunia berdasarkan peradaban dan agama. Hal ini melahirkan mendekatan “soliteris” terhadap identitas manusia, yaitu pendekatan yang memandang sebagai satu kelompok semata (dalam hal ini berdasarkan peradaban atau agamanya, berbeda tajam dengan pengelompokan atas dasar kebangsaan dan kelas yang lebih dulu muncul).

Pendekatan soliteris membuka jalan bagi lahirnya kesalahfahaman di antara hampir setiap orang di dunia.

Amartya Sen, seorang penerima nobel bidang ekonomi 1998 dalam bukunya berjudul Kekerasan dan Ilusi Tentang Identitas mengkritik, tesis Benturan antar-Peradaban Samuel Huntington yang terkenal itu cuma menumpang belaka pada kategorisasi tunggal seturut apa yang disebut sebagai garis-garis peradaban. Ternyata garis-garis peradaban itu sendiri ditarik berdasarkan pemilahan berdasarkan agama semata dan menjadi satu-satunya aspek yang diacu sebagai dasar amatan. Huntington membuat kontras tajam antara “Peradaban Islam”, “Peradaban Hindu”, “Peradaban Budha” dsb. Asumsi tentang adanya konfrontasi antaragama ini dicakupkan ke dalam pandangan yang dibangun secara serampangan mengenai keterpisahan yang dominan dan kukuh.

Afiliasi Identitas – Sarana Perdamaian
Padahal dalam kehidupan normal, kita memandang diri kita sebagai anggota dari berbagai macam kelompok – kita menjadi bagian dari semua kelompok tersebut. Tanpa perlu timbul kontradiksi, seorang yang sama dapat sekaligus menjadi seorang warga negara, pemeluk satu dari sekian banyak agama yang ada, seorang liberal, seorang perempuan, seorang pegetarian, seorang pelari jarak jauh, seorang sejarawan dll. Masing-masing kelompok di atas, tempat orang yang sama menjadi bagian dari keseluruhannya secara simultan, memberi suatu identitas yang khas. Dari masing-masingnya tidak ada satu pun yang bisa disebut sebagai identitas yang dimiliki oleh orang tersebut, apalagi komunal.

Pemikir komunitarian cenderung berpendapat bahwa identitas komunal yang tetap – pasti hanyalah merupakan persoalan realisasi diri, dan bukan persoalan pilihan. Namun dengan demikian, tetap sulit bagi kita untuk memercayai orang sama sekali tidak punya pilihan dalam menentukan derajat kepentingan relatif yang dikenakannya pada berbagai kelompok tempat bernaung, atau bahwa dia hanya perlu “menentukan” identitas kodratinya, seolah langkah “menemukan” identitas itu sepenuhnya penomena alami (seperti memastikan apakah ini siang atau malam). Pada kenyataannya, sepanjang waktu kita semua terus menentukan pilihan-pilihan meskipun secara tersirat, mengenai prioritas yang mesti diambil berkenaan dengan afiliasi dan asosiasi kita yang berbeda-beda. Kebebasan untuk menentukan kesetiaan dan prioritas di antara pelbagai macam kelompok pertalian kita itu adalah sebuah kebebasan yang teramat penting. Kita mempunyai kebebasan yang jelas untuk mengakui, menghargai, dan mempertahankan kebebasan tersebut.

Identitas tunggal dapat menimbulkan rasa keterikatan yang kuat (dan eksklusif) pada suatu kelompok, bisa mengandung didalamnya persepsi tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok lain.

Rasa keterikatan terhadap komunitas dipandang suatu sumber daya–laiknya modal. Pemahaman semacam ini penting memang, tetapi mesti disertai oleh pemahaman yang lebih dalam bahwa suatu rasa akan identitas dapat sungguh-sungguh membuat orang menampik yang lain meski perasaan yang sama pula dapat mendorong satu pihak merangkul yang lain secara bersahabat.

Seandainya kita mampu melihat secara jernih bahwa kita memiliki berbagai afiliasi yang berbeda dan dapat berinteraksi satu sama lain, melalui beragam cara yang berlainan. Tidak mengerangkeng kemanusiaan kita dalam kategori-kategori identitas tunggal, maka selalu ada kebebasan bagi kita untuk menentukan prioritas kita sendiri dalam artian afiliasi identitas adalah sebuah sarana saling memahami dan berdamai*

Rabu, 12 Januari 2011

Pelajaran dari Statement Prof Thamrin?


By. Hendrikus Adam*
 
Pernyataan Prof. DR. Thamrin Amal Tomagola (TAT) seorang Sosiolog Universitas Indonesia saat menjadi saksi ahli (karena permohonan sendiri-lihat surat elektronik ybs.) dalam sidang kasus asusila video mesum Nazriel Ilham alias Ariel Peterpan menuai kecaman dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, khususnya warga suku Dayak. Kecamanan tersebut sebagai respon atas pernyataan TAT dalam sidang di Pengadilan Bandung pada tanggal 30 Desember lalu dan telah  dianggap telah melukai hati masyarakat Dayak khususnya. Wujud dari aksi protes, masyarakat Dayak menuntut pertanggungjawaban TAT untuk memohon maaf dan mengklarifikasi serta menarik pernyataannya. Disamping itu juga menuntut agar TAT mempertanggungjawabkan pernyataannya serta diproses secara hukum negara dan di hukum adat. Sejumlah tuntutan tersebut telah disampaikan secara nasional yang dilakukan baik melalui surat protes dengan melakukan somasi, maupun seperti yang dilakukan pada tanggal 8 Januari 2010 melalui aksi massa di sejumlah daerah basis masyarakat Dayak dan bahkan dilakukan di ibu kota negara (Bundaran HI, Jakarta).

Sebagaimana diketahui bahwa kecaman terhadap TAT atas pernyataannya yang menganggap kasus video porno Ariel Peterpan tidak meresahkan masyarakat Indonesia dan kemudian mencontohkan salah satunya dari tiga komunitas masyarakat yang disebutkan adalah Suku Dayak. Dikatakan Thamrin (merujuk hasil riset tahun 1982-1983 saat menjabat sebagai Konsultan di Departemen Transmigrasi), di masyarakat Dayak bersenggama diluar ikatan perkawinan adalah hal yang biasa.

Bagi warga yang merespon keras pernyataan TAT menilai bahwa apa yang disampaikan tentu bukan hal yang biasa. Terlebih oleh seorang akademisi yang mumpuni dengan gelar Strata 3 (Doktor) bahkan sebagai guru besar (Professor) di perguruan tinggi ternama Tanah Air. Apa yang disampaikan TAT adalah sebuah pernyataan yang luar biasa karena "tidak sesuai fakta" dan cenderung general (butuh penjelasan utuh dari yang bersangkutan). Statemen yang tersebar meluas hingga dapat diakses warga dunia tersebut juga dikhawatirkan dapat memunculkan presenden negatif atas eksistensi masyarakat suku Dayak khususnya. Oleh karenanya, wajarlah kiranya masyarakat Dayak meresponnya dengan meminta pertanggungjawaban kepada yang bersangkutan untuk mengingatkan serta memberikan pembelajaran bersama mengenai pentingnya kecermatan dan kehati-hatian dalam menyampaikan segala hal berkenaan dengan apek SARA yang memang sangat sensitif. Terlepas bahwa apa yang disampaikan bersumber dari informasi ilmiah, tetapi butuh klarifikasi utuh karena isu sensitif ini malah dapat menjadi pemicu perpecahan dan gejolak di masyarakat seperti yang sedang berlangsung melalui riak-riak yang berkembang akhir-akhir ini. 

Semangat penghormatan dengan mau menyadari eksistensi orang lain dengan latar belakang identitas beragam dan sekaligus sebagai bagian dari khasanah pembentuk budaya bangsa memang selayaknya mendapat tempat dihati setiap anak negeri ini. Dengan demikian, kekeliruan dan atau kesalahan sekalipun menjadi penting untuk diperjelas melalui upaya klarifikasi.

Dalam bingkai semangat ke-Indoesiaan yang berbhineka tunggal ika, hemat penulis pernyataan Prof TAT tentu sangat riskan dan karena sangat rentan memunculkan disintegrasi khususnya karena dapat membangun persepsi sesat pikir bagi publik atas pemahamannya terhadap kelompok maupun komunitas tertentu. Statemen seperti ini juga sangat riskan bila dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk malah memperuncing keadaan. Karenanya fenomena ini (kalau dianggap sebuah kesalahan), bukan hanya dapat melukai hati warga suku Dayak khususnya, tetapi juga ’menyobek’ semangat kebersamaan dalam Kebhinekaan. Pernyataan Sang Prof juga akhirnya berdampak "melukai" dunia akademis khususnya almamater tempat beliau mengabdi. karena mendapat respon yang kontraproduktif dari masyarakat yang merasa keberatan.

Hemat penulis, masyarakat Dayak (juga komunitas masyarakat lainnya) adalah bagian dari komunitas yang memiliki ”posisi” sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Sebagai bagian dari komponen bangsa dengan identitas adat istiadat, sistem nilai dan budaya yang dimiliki, setiap komunitas masyarakat adalah komponen pemersatu dalam bingkai NKRI. Dengan demikian, bila pernyataan Professor DR. Tamrin AT  harus disikapi maka sebenarnya ini juga bagian dari persoalan bersama segenap komponen bangsa.

Pernyataan Prof TAT harusnya tidak dilihat dalam bingkai yang ”sempit” semata sebagai persoalan yang melukai hati orang Dayak, tetapi juga persoalan seluruh anak negeri yang masih meyakini perlunya semangat egaliter dan kebersamaan untuk dirawat. Pernyataan tersebut bukan hanya ”duka” bagi orang Dayak, tetapi juga ”duka” untuk Indonesia. Berangkat dari dinamika yang telah menjadi fenomena meluas ini, maka setiap komponen bangsa yang terdiri dari beragam suku bangsa dan komunitas-komunitas masyarakatnya diajak untuk memetik pelajaran berharga.Kalaupun ini sebagai sebuah kesalahan omong dan atau kekeliruan kutipan, maka selayaknya di respon dengan baik. Tetapi, fenomena ini sudah terlanjur direspon.

Sambil menunggu proses dan bentuk pertanggungjawaban (termasuk juga permohonan maaf yang disampaikan secara terbatas) dari yang bersangkutan sebagai respon atas sejumlah tuntutan masyarakat Dayak, maka pernyataan Prof. DR. Tamrin Amal Tomagola menurut hemat penulis menyisakan ruang untuk  melakukan refleksi bersama. Harus menjadi pelajaran bersama, agar hal  yang justeru dapat mengusik semangat multikulturalisme tidak terulang kembali. Setiap diri kita tentu tidak menginginkan pernyataan yang tidak patut kepada sesama, dan juga tidak diperkenankan dilakukan oleh kita semua sebagai bagian dari entitas bangsa. Penghormatan terhadap komunitas manapun perlu dipelihara dengan hidup baik dan harmonis antar satu dengan lainnya. Demikian sebaliknya, tentu tidak baik pula bila kita terlalu gampang melihat persoalan yang menyinggung SARA direspon secara reaktif yang malah dapat memberi dampak yang destruktif. Pastilah butuh gagasan rasional yang tetap berpegan teguh pada nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi.

Beberapa hal yang berikut kiranya dapat menjadi pelajaran bersama untuk tetap menempatkan persoalan tersebut pada koridor dan semangat perdamaian maupaun kebersamaan dalam bingkai NKRI; pertama, bahwa pernyataan Prof. DR. Tamrin Amal Tomagola harus diakuii bahwa secara spontan telah melukai perasaan masyarakat Dayak khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya karenanya memang harus dipertanggungjawabkan serta diklarifikasi oleh yang bersangkutan. Hal ini juga sebagai peringatan bagi setiap warga negara agar tidak gampang menyatakan pendapat yang justeru berpotensi dapat melukai perasan komunitas maupun pihak lain.

Kedua, bahwa dunia akdemis umumnya dan Universitas Indonesia khususnya menurut hemat penulis juga turut ternodai sebagai dampak dari pernyataan yang disampaikan oleh yang  bersangkutan. Sebagai seorang guru besar, namun hasil penelitian yang dipaparkan tidak cukup argumentatif (masih sangat lemah dengan infrmasi yang maish terbatas bisa dipahami publik) sehingga butuh klarifikasi dari yang bersangkutan. Ketiga, pernyataan Prof. Thamrin yang menggunakan sampel 10 orang ibu-ibu usia subur terkait dengan hasil riset di Kalimantan Barat dan Papua Selatan menujukkan bahwa begitu rentanya kaum perempuan sebagai ”komoditas” dalam berbagai lini kehidupan. Sangat mungkin berpengaruh pada streotype negatif publik.  Karenanya, isu perempuan mesti mendapat tempat dalam segala aspek kehidupan untuk turut dihargai. 

Keempat, dinamika mengenai statemen Prof. Tamrin hendaknya dapat menjadi refleksi bersama masyarakat Dayak khususnya dan segenap komponen bangsa maupun komunitas-komunitas pada umumnya, agar semakin bergiat melihat dan mendalami serta menumbuhkan rasa memiliki atas nilai budaya dan adat istiadat yang diyakini ada dan hidup dalam komunitas masing-masing. Dengan demikian setiap komponen bangsa memiliki kewajiban untuk mewujudkan nilai dan semangat kebersamaan dalam bingkai NKRI. Pertanyaan replektif bagi kita (masing-maisng komunitas); apakah nilai-nilai luhur masih hidup dan dihidupi dalam keseharian yang diakui masih ada? 

Kelima, kalaupun pernyataan Prof Thamrin dianggap sebagai hal yang perlu dikritisi dan bahkan menjadi persoalan bagi masyarakat Dayak khususnya. Maka hemat penulis, ini kiranya dapat menjadi "warning" untuk mulai memikirkan persoalan-persoalan lain yang tak kalah pentingnya untuk diulas secara kritis terkait dengan keberadaan masyarakat Dayak yang saat ini terancam sumber hidupnya sebagai dampak dari model global pembangunan.

Keenam, belajar dari fenomena ini kita diajak untuk berani serta rela meminta maupun memberi maaf. Karena sesungguhnya, keagungan nilai luhur yang ada pada seseorang maupun komunitas menurut hemat penulis juga dimanifestasikan dengan sikap pemaaf yang dimiliki. Maaf tentu saja "wajib" disertai kesadaran dan komitmen dari yang bersangkutan untuk tidak akan mengulanginya kembali.

Hati yang dingin dilandasi dengan semangat Adil ka’ Talino, Baruramin ka’ Saruga, Basengat ka Jubata (adil terhadap sesama, bercermin ke surga dalam setiap tindakan, Tuhan sebagai sumber hidup) hendaknya dapat menjadi spirit agar perdamaian dengan Tuhan, alam, dan sesama dapat menjadi kenyataan. Semoga!...

*) Penulis adalah Ketua PMKRI Pontianak periode 2008-2009, sekarang aktif di lembaga Walhi Kalbar.